Sabtu, 02 Juni 2018

Cerpen: Mereka Dalam Perjalanan[Ku] Bagian II: Asrama, Berkebun Hingga Mencuri Bibit

 

  Gbr: Suasana Anak Papua di Asrama Tempat saya Sekolah Pada Tahun Ke 3

Awal-awal kehidupan  di asrama terasa sangat berat karena tidak ada anak Papua di asrama ini, apalagi semua anak asrama menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari, saya kadang menjadi seorang bisu yang hanya berbicara dengan agan, bahkan kadang hanya menjadi pendengar. Bahasa Indonesia saya saja hambur-adul, apalagi saya yang baru, mendengar bahasa Jawa yang tidak sama sekali pernah saya dengar.  Kehidupan awal SMA juga berat, saya kesulitan dalam beradaptasi dan memahami materi karena Guru sebagian besar menggunakan logad Jawa, bahkan ada beberapa guru selipan satu-dua kata bahasa jawa dalam penjelasan matertinya. Namun hal ini tidak begitu berat karena ada 2 guru yang berasal dari Ambon dan ada beberapa anak Papua juga sudah awal sekolah di sekolah yang sama, sehingga komunikasi menjadi sedikit lancar, namun itu hanya di saat jam sekolah karena mereka tinggal diluar asrama, sehingga kehidupan komunikasi di asrama tetap menjadi tantangan bagi saya. 
 
Kehidupan tahun pertama di SMA saya jalani dengan perjuangan yang berat, karena harus beradaptasi dengan berbagai kondisi kehidupan di Jawa dari segi Pelajaran di Sekolah, Bahasa dalam komunikasi, bahkan makanan-makanan lokal Jawa yang menjadi menu utama di asrama sehingga dari segi makanan juga saya sulit adaptasi dengan masakan-masakan di asrama, karena lidah saya sudah terbiasa dengan makanan lokal Papua, sehingga untuk mendapatkan makanan lokal Papua, saya harus berkebun dan mencuri bibit ubi atau singkong  kemudian  ditanam  dibelakang halaman asrama, sehingga saya tetap bisa makan ubi jika bosan dengan masakan Jawa di asrma. Selain berkebun untuk menanam ubi atau singkong, saya menjadi penjaga sekolah dimana sore saya membersihkan halaman sekolah dan pagi hari saya menyapu dan megepel lantai sekolah. Sebagai imbalan saya dikasih Rp 100.000 setiap bulan, ini sangat membantu bagi saya untuk menjadi uang Jajan, karena orang tua hanya mengirim uang sekolah pada awal dan akhir semester yaitu bulan Juni dan Desember. 

Awal-awal kehidupan SMA di rantauan itu berat, apalagi hidup di Asrama dengan Peraturan yang begitu super  ketat. Terkadang saya harus tinngal seorang diri di asrama selama satu-dua minggu liburan, karena saat liburan semua anak asrama pulang kampung. Namun bagi saya dengan semakin beratnya kehidupan melatih saya untuk berjuang lebih keras lagi. Selama satu tahun saya hidup di asrama sekolah tidak tahu orang Papua diluar asrama,  dan disaat itupula saya berpikir orang Papua yang ada di kota Malang haya saya dan 2 anak yang datang sekolah dari luar asrama itu. 

Memasuki tahun kedua diasrama dan di sekolah saya dipercayakan oleh pembina asrama untuk menjadi ketua asrama. Saya menjadi semacam pemimpin di  Asrama namun saya melihat  ini sebagai suatu kepercayaan, sehingga saya harus menjadi contoh bagi 60-an anak yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia yang tinggal di asrama. Pada tahun kedua ini  pergaulan tidak begitu sulit, saya mulai beradaptasi denga lingkungan, mulai memahami materi yang diajarkan oleh guru, mengerti metode pengajaran dan pola pengajaran di sekolah. Pola pengajaran di Jawa berbedah sekali dengan pola pendidikan dan metode yang diajarkan sekolah di kampung saya dimana, waktu SMP di kampung saya Jika siswa terlambat atau tidak mengerjakan tugas sekolah maka hukumannya adalah dicambak rotan atau dipukul. Hal ini berbedah dengan pola pendidikan di SMP/SMA di Jawa ini, dimana jika seorang murid tidak sekolah, tidak mengerjakan tugas, atau terlambat, maka guru akan memberi satu tugas, yaitu membaca sebuah judul buku dan harus membuat resume (Ringkasan). 

Pada Tahun kedua di SMA saya mulai jatuh Cinta dengan satu mata pelajaran yaitu Pelajaran Geografi. Setiap ada tugas atau  ulangan nilai saya selalu bagus dari teman-teman lain. Bahkan suatu kali saya berdebat dengan sala seorang guru karena saling  mempertahankan argumen jawaban masing-masing hingga guru tersebut memutuskan untuk menghadapi kepala sekolah yang juga Guru Geografi. Selain berdebat dengan guru, banyak kisah yang terjadi di SMA seperti salah ucapan dalam bahasa  Jawa, Jatuh cinta, hingga berkelahi atau memukul sala seorang teman karena ucpan yang rasis. Kehidupan dan kisah di SMA begitu indah hingga kehidupan di SMA tidak begitu terasa hingga saya sudah lebih banyak bergaul dengan teman-teman dari berbagai pulau terutama yang orang asli Jawa sehingga liburan saya bisa pergi ke kampung mereka. 

Waktu begitu cepat, tidak terasa sudah memasuki tahun ke-3 di tanah  rantauan. Tahun berikutnya saya harus meninggalkan bangku SMA dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Akhirnya pada tahun 2012 saya tamat dan lulus dari bangku SMA. Setelah Tamat SMA saya ditawari untuk merantau lagi, kali ini rantau mengelilingi Benua..(Bersambung)